Tips Berkata Bijak

16.6.08

Menggali Kearifan Menghalau Kerakusan

Haedar Nashir


Ambon aman dan kondusif. Warga di seribu pulau itu kini mulai menapaki hari esok yang lebih damai. Banyak hikmah yang diambil dari pengalaman pahit lima tahun konflik penuh pertaruhan. Cukuplah sekali itu, lalu generasi baru meretas hidup rukun untuk kelangsungan masa depan. Kini, tinggal membuang puing-puing lama yang berserakan. Semoga tak ada lagi rintangan dan pemicu yang menyulut bara. Warga Maluku tak akan terpengaruh.

Demikian rekaman penulis dari saudara-saudara kita di Ambon, ketika dua hari yang lalu mengunjungi ibu kota Maluku itu. Mungkin terlalu menyederhanakan kesimpulan, dan hanya selintas. Tetapi itulah getaran yang kini tumbuh di kepulauan yang dikenal indah itu. Orang boleh berdebat soal detail kondisi Maluku saat ini. Siapa pun berhak untuk harap-harap cemas sekaligus optimis akan masa depan kehidupan di pulau berbukit-bukit dan berteluk indah itu.

Para ahli boleh berdiskusi panjang soal sebab-musabab konflik yang tragis di provinsi bergugusan pulau itu. Berbagai solusi juga bisa ditawarkan untuk meretas nasib masyarakat Ambon dan kepulauan Maluku yang lebih baik. Namun, ketika masyarakat setempat memiliki semangat dan harapan untuk keluar dari kemelut dan meretas hidup baru yang lebih damai dan berkemajuan, maka tak akan pernah ada kekuatan apa pun yang membendungnya. Itulah yang bernama kearifan lokal atau kearifan budaya.

Kearifan budaya adalah energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup di atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan hidup yang berkeadaban. Hidup damai. Hidup rukun. Hidup bermoral. Hidup saling asih, asah, dan asuh. Hidup dalam keragaman. Hidup penuh maaf dan pengertian. Hidup toleran dan jembar hati. Hidup harmoni dengan lingkungan. Hidup dengan orientasi nilai-nilai yang membawa pada pencerahan. Hidup untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berdasarkan mozaik nalar kolektif sendiri. Kearifan seperti itu tumbuh dari dalam lubuk hati masyarakat sendiri. Itulah bagian terdalam dari kearifan kultur lokal.

Kita dapat belajar dari Ambon. Dari Sampit, Poso, Aceh, Papua, dan daerah-daerah yang terkena musibah konflik di negeri ini. Bahwa di luar pendekatan-pendekatan yang bercorak strukturalis, sesungguhnya kita dapat menggali mozaik kehidupan masyarakat setempat yang bernama kearifan kolektif atau kearifan budaya. Di setiap masyarakat mana pun kearifan semacam itu tertanam dalam di relung sistem pengetahuan kolektif mereka yang dialami bersama. Itulah yang sering disebut sebagai local-wisdom. Para ahli juga sering menamakan local-knowledge, pengetahuan setempat yang berkearifan. Pela-gandong di Maluku misalnya, merupakan contoh dari kearifan budaya lokal itu.

Boleh jadi kearifan lokal di banyak penjuru negeri ini telah lama tercerabut oleh dahsyatnya hegemoni budaya seragamisme yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru, yang mematikan keragaman. Oleh budaya birokratisme, yang menancapkan dominasi kaum birokrat untuk meruntuhkan otoritas karisma tokoh setempat. Oleh budaya militerisasi yang serba monolit, yang melumpuhkan ruang-ruang kreasi kewargaan. Oleh kebiasaan rezim untuk memaksakan penyelesaian masalah dari atas secara paksa, yang melindas kemampuan-kemampuan kolektif warga secara mandiri.

Oleh politik adu-domba untuk meraih wibawa kuasa, yang mengorbankan solidaritas anak-anak bangsa. Oleh pragmatisme kekuasaan, yang selalu mengambil jalan menerabas dalam menyelesaikan masalah, seraya melupakan proses sosial yang lebih awet meskipun lambat. Oleh ekonomisasi yang mendewakan materi, sambil membunuh nilai-nilai luhur yang selama ini mekar dalam nurani masyarakat.

Kini, bangsa ini perlu belajar untuk menggali kearifan yang boleh jadi juga telah lama hilang dari negeri ini. Ketika bangsa ini tetap terseok-seok dalam gelombang krisis multi wajah, padahal telah tiga kali ganti rezim pemerintahan di era reformasi, maka perlu sekali mencoba menggali mozaik kearifan. Seluruh anak-bangsa berkewajiban untuk membangkitkan energi baru kearifan, ketika tanda-tanda kerakusan mulai tampak merasuk ke banyak ruang publik. Kerakusan akan materi dan jabatan kekuasaan merupakan fenomena yang paling menonjol di negeri ini, yang diperagakan terutama oleh para elite di banyak lingkungan, yang pelan tapi pasti atau bahkan secara drastis telah mematikan energi kearifan.

Menjelang 2004 bahkan muncul gejala kerakusan baru. Yakni pada ingin jadi presiden. Tak di dalam partai, yang memang demikian adanya, bahkan dari luar gelanggang partai pun bertumbuhan tokoh-tokoh yang siap jadi presiden. Kalau tidak terang-terangan tampil di ruang publik, diam-diam bersafari ke sana ke mari untuk membuka pasar-politik. Rupanya politisi kini bukan hanya di dalam partai, di luar pun berseliweran politisi non-partai. Mereka sama-sama siap menjadi presiden atau menjadikan seseorang menjadi presiden.

Padahal persoalan menjadi presiden bukan sekadar siap atau tidak siap, tetapi yang paling bermakna adalah soal amanat dan kemampuan. Amanat akan membuat sang presiden dapat merawat seluruh beban yang diberikan rakyat kepadanya secara jujur dan bertanggungjawab. Sedangkan kemampuan akan membuat dirinya mampu mengemban amanat itu sebagaimana mestinya. Amanat saja tidak cukup, sebagaimana kemampuan saja tidaklah memadai, kedua-duanya harus berpadu dalam diri pemimpin bangsa. Hal yang paling merepotkan sekaligus membahayakan ketika dua-duanya tak dimiliki, tiada amanat, tiada pula kemampuan.

Ketika amanat sirna dari nurani pemimpin, maka dia akan membiarkan penyelewengan menjalar ke segenap relung pemerintahan dan ruang publik, bahkan besar kemungkinan dirinya pun terlibat dalam penyelewengan itu. Korupsi, kolusi, nepotisme, jual beli hukum, pengurasan harta negara, penjualan aset-aset negeri, eksploitasi sumberdaya alam, menelantarkan nasib rakyat, kemewahan, dan seribu satu perusakan dan penyimpangan akan dibiarkan mekar bahkan semakin dimekarkan. Bahkan kursi kekuasaan pun akan terus dipertahankan dengan sejuta cara yang haram dan subhat sekalipun. Sudah merasa tak amanat, masih juga ingin berkuasa dan meraih kuasa baru.

Ketika kerakusan kuasa dan materi begitu dominan, maka soal amanat dan kemampuan menjadi hal kecil dalam ruang kepala dan batin para elite di negeri ini. Apalah amanat dan kemampuan, yang penting dapat meraih kuasa, yang penting dapat meraup materi. Itulah watak kerakusan, yang tak membiarkan suara nurani mekar, karena dikalahkan oleh luapan nafsu duniawi. Nafsu kuasa dan harta. Kedudukan sekadar jadi batu loncatan dari ambisi-ambisi bawah sadar dirinya yang tumpah ruah ke segala arah. Sehingga jadilah para elite berebut harta dan kuasa, harta untuk meraih kuasa dan kuasa untuk menambah harta dan akumulasi kuasa berikutnya.

Jika kaum elite di negeri ini mengerti derita anak-anak bangsa di Aceh, Ambon, Poso, Papua, dan di seluruh wilayah Nusantara yang didera krisis berkepanjangan, boleh jadi semakin sedikit yang bersiap diri menjadi presiden dan jabatan-jabatan publik di pemerintahan. Mereka tentu miris, cemas, dan hilang nyali untuk menjadi pemimpin negeri. Betapa berat amanat dan kemampuan yang harus dikerahkan. Betapa banyak hal yang harus dipertaruhkan, sampai nyawa pun dapat menjadi barang tebusan. Bukan malah bernafsu dan berpesta pora untuk dapat meraih kedudukan yang penuh pertaruhan itu.

Kita berharap, semoga kearifan masih tersisa dalam relung hati dan pikiran para elite bangsa di negeri ini, agar nafsu kerakusan tak merajalela. Jika masih pada berkeinginan untuk menjadi presiden dan meraih jabatan-jabatan publik, bertanyalah pada nurani sendiri dan nurani rakyat. Untuk dan atas nama apa kekuasaan itu ingin diraih? Bagaimana dan kenapa harus diraih? Mau berbuat apa setelah meraihnya? Bagaimana kalau tak mampu memikulnya setelah kuasa itu diraih? Mengapa begitu menyala-nyala semangat untuk meraih kuasa? Akankah membawa maslahat atau sebaliknya mafsadat untuk bangsa? Dan berbagai pertanyaan yang memerlukan kejernihan hati dan pikiran untuk mencandranya. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang bernuansa kearifan, yang perlu dicandra oleh siapapun yang menjadi dan ingin menjadi pemimpin bangsa.
Semoga para elite di negeri ini mau berlomba-lomba meraih kearifan, lebih dari sekadar nafsu meraih kuasa. Sumber kearifan itu bertebaran di mana-mana. Raihlah ilmu dan hikmah, demikian titah Allah dalam banyak ayat Alquran, agar manusia meraih kearifan hidup. Sayangnya, kearifan sering menjadi barang yang mudah hilang, ketika kerakusan merajalela dan serba dipuja!


Tidak ada komentar:

Tips Bicara Bijak